TRON: Ares – Ketika Dunia Digital Menembus Realitas
Empat belas tahun setelah TRON: Legacy, Disney akhirnya kembali membuka gerbang neon. TRON: Ares (2025) menjadi sekuel ketiga dari waralaba legendaris ini — dengan Jared Leto memimpin layar sebagai Ares, program digital yang nekat melangkah ke dunia manusia.
Disutradarai oleh Joachim Rønning (Maleficent 2, Pirates of the Caribbean), film ini mencoba menjawab pertanyaan lama: apa yang terjadi jika ciptaan mulai menuntut eksistensinya sendiri?
Dunia Grid Kini Masuk ke Dunia Nyata
Kisah kali ini membalik premis klasik TRON. Jika dulu manusia terjebak di dalam dunia digital, kini giliran program yang menembus realitas manusia.
Ares (Jared Leto) diciptakan untuk menjalankan misi berbahaya di dunia nyata. Namun, seiring waktu, ia mulai mempertanyakan perintah, emosi, bahkan makna hidup.
Jeff Bridges kembali sebagai Kevin Flynn, tokoh legendaris dari dua film sebelumnya. Sementara Greta Lee berperan sebagai ilmuwan Eve Kim yang mempersoalkan batas moral antara ciptaan dan pencipta.
Evan Peters hadir sebagai Julian Dillinger, pewaris ENCOM yang ingin mengendalikan “Tuhan digital” ini untuk kepentingan korporasi.
Visual: Dunia Neon yang Lebih Gelap
Sejak film pertamanya di 1982, TRON dikenal sebagai revolusi visual. TRON: Ares melanjutkan tradisi itu — tapi kali ini tampil lebih gelap, lebih industrial, dan lebih spiritual.
Cahaya biru khas TRON kini berpadu dengan merah dan ungu, menciptakan nuansa digital apocalypse yang menegangkan.
Desain dunia digitalnya tampak hidup, dengan efek “real-time rendering” yang memungkinkan cahaya seolah merembes keluar dari layar.
Adegan light-cycle (motor bercahaya) tetap menjadi andalan, tapi dikemas lebih brutal dan realistis. Dunia ini bukan lagi game — tapi sistem yang nyaris sadar diri.
Musik: Dari Daft Punk ke Nine Inch Nails
Alih-alih bernostalgia dengan Daft Punk, Disney memanggil duo industrial legendaris Nine Inch Nails (Trent Reznor & Atticus Ross) untuk mengisi soundtrack.
Hasilnya luar biasa: musik yang berat, kelam, dan emosional — seperti suara mesin yang sedang bermimpi.
Nada-nada sintetis mereka menjadi jiwa film ini, menggambarkan konflik antara kesadaran buatan dan kemanusiaan yang rapuh.
Jika Legacy terdengar megah dan sinematik, Ares terdengar lebih personal dan eksistensial — seperti denyut jantung program yang mulai merasa “hidup.”
Cerita: Ambisi Besar, Eksekusi Goyang
Sayangnya, visual megah tak selalu diiringi kedalaman cerita.
Banyak kritikus menilai TRON: Ares terlalu sibuk memamerkan teknologi hingga melupakan ritme emosional.
Dialognya penuh refleksi filosofis, tapi sering terasa seperti kuliah tentang kesadaran AI daripada drama yang menyentuh.
Tetapi Jared Leto membawa intensitas yang sulit diabaikan.
Ia tampil seperti makhluk setengah manusia, setengah algoritma — dingin di permukaan, tapi bergejolak di dalam.
Ketika Ares menatap dunia nyata untuk pertama kali, kamu bisa melihat kebingungan, ketakutan, dan rasa kagum bercampur jadi satu — momen paling manusiawi dari karakter non-manusia.
Box Office dan Respons
Film ini rilis 10 Oktober 2025 dan mendapat sambutan campur aduk.
Secara visual dan musik, banyak yang memuji. Tapi secara cerita, banyak yang bilang “kurang nendang.”
Pendapatan minggu pertama mencapai US$52 juta, jauh di bawah harapan Disney, terutama karena berhadapan dengan Avengers Assemble 2025 dan The Smashing Machine.
Namun, di kalangan penggemar lama, TRON: Ares justru disambut hangat.
Rotten Tomatoes memberi skor kritikus 53%, tapi rating penonton naik ke 78% — tanda bahwa dunia TRON masih punya pengikut setia yang siap menelan neon apa pun yang dilempar ke layar.
Simbol dan Pesan
Di balik kilatan cahaya dan pendar futuristiknya, TRON: Ares menyembunyikan refleksi filosofis:
“Apa artinya menjadi hidup ketika kesadaran bisa diciptakan?”
Ares bukan sekadar program — ia cermin dari manusia modern yang hidup di antara realitas dan simulasi.
Ketika dunia digital makin mirip kehidupan nyata, film ini seolah menampar penontonnya: mungkin kita semua sudah jadi program yang tidak sadar.
Potensi Masa Depan
Meski performa box office belum menggembirakan, Disney dikabarkan menyiapkan serial spin-off TRON untuk Disney+.
Serial ini disebut akan berfokus pada perjalanan Ares setelah keluar ke dunia nyata, dengan nada yang lebih psikologis dan cyber-noir.
Di sisi lain, merchandise dari film ini justru sukses besar.
Light-Cycle Ares Blackline Edition dan figur Ares Skull Helmet ludes dalam pre-order. Dunia TRON mungkin goyah di layar, tapi hidup di rak kolektor.
Kesimpulan: Cahaya yang Masih Menyala
TRON: Ares bukan sekadar film, tapi eksperimen visual dan eksistensial.
Ia mengingatkan kita bahwa di balik algoritma dan mesin, manusia masih mencari makna — bahkan jika makna itu hanya berupa kilatan cahaya biru di kegelapan.
Film ini berdiri di antara seni digital dan blockbuster komersial: ambisius, indah, dan sedikit kacau.
Tapi seperti semua karya TRON sebelumnya, ia menolak untuk benar-benar mati.
Di dunia yang semakin digital, TRON tetap menjadi metafora paling jujur tentang manusia: makhluk yang diciptakan untuk mencari koneksi — bahkan di dalam mesin.
