Jika seseorang bilang dua dekade lalu bahwa boneka kecil bermata besar dari Tiongkok akan melayang di langit New York pada parade Thanksgiving, mungkin semua orang akan tertawa. Sekarang, itu kenyataan.
Tahun 2025 resmi menandai momen di mana POP MART, raksasa mainan koleksi asal Asia, membuat debut bersejarah di Macy’s Thanksgiving Day Parade—ikon tahunan budaya pop Amerika.
Float bertema “Friendsgiving in POP CITY” akan menampilkan karakter-karakter andalan POP MART seperti Labubu, Molly, SKULLPANDA, Dimoo, Peach Riot, Duckoo, dan Mokoko. Parade ke-99 ini bukan sekadar pawai balon helium raksasa, tapi simbol pengakuan global: mainan desainer Asia kini menjadi bagian dari arus utama budaya pop dunia.
Dari Figur Imut ke Ekonomi Raksasa
POP MART bukan fenomena instan. Didirikan di Beijing pada 2010, perusahaan ini tumbuh dari toko kecil menjadi kerajaan koleksi bernilai miliaran dolar. Model bisnisnya sederhana tapi mematikan: blind box — kotak misterius berisi satu figur acak dari seri tertentu. Kamu tidak tahu siapa yang kamu dapatkan sampai membukanya.
Bagi sebagian orang itu perjudian kecil; bagi kolektor, itu adrenalin murni.
Fenomena ini kemudian meledak di Asia.
Anak muda di Hong Kong, Seoul, dan Jakarta rela antre di depan toko POP MART seperti menunggu rilis iPhone.
Figur seperti Labubu dan Molly menjadi ikon fashion, subjek fan-art, bahkan inspirasi tato.
Dan sekarang, karakter-karakter itu akan berparade di depan ratusan juta penonton televisi Amerika—momen yang menandai, dengan cukup puitis, bahwa budaya pop Asia bukan lagi “impor”, tapi ekspor utama.
Macy’s Thanksgiving Parade: Dari Mickey ke Labubu
Parade Thanksgiving Macy’s adalah tradisi yang sudah berjalan hampir satu abad. Dimulai pada 1924, parade ini selalu menjadi panggung bagi ikon budaya: Mickey Mouse, Snoopy, Pikachu, SpongeBob, dan superhero Marvel semuanya pernah mengudara di antara gedung-gedung Manhattan.
Tahun ini, kehadiran POP MART bukan sekadar tambahan karakter lucu. Ini simbol perubahan lanskap pop culture Amerika.
Untuk pertama kalinya, merek Asia menampilkan parade float penuh—bukan hanya kolaborasi kecil, tapi konsep orisinal bertema persahabatan global. Float “POP CITY” didesain seperti kota imajiner dengan warna pastel, neon, dan arsitektur khas urban-fantasy, seakan menggabungkan Tokyo, Seoul, dan New York dalam satu ruang.
Karakter Labubu akan memimpin parade, berdampingan dengan Molly, si boneka berambut pirang dengan ekspresi dingin khasnya.
Bagi penggemar lama, ini bukan hanya parade—ini validasi bahwa fandom mereka akhirnya “diakui dunia.”
Pop Culture yang Makin Lintas Batas
Kehadiran POP MART di parade Thanksgiving tidak bisa dilepaskan dari tren globalisasi budaya pop Asia.
Dalam lima tahun terakhir, dunia sudah lebih terbuka terhadap fenomena cross-culture entertainment:
-
K-Pop menembus Billboard.
-
Anime Jepang menjadi bagian utama Netflix dan Hollywood.
-
Game mobile Asia seperti Genshin Impact dan PUBG Mobile menembus pasar Amerika.
Sekarang giliran art-toy dan figur koleksi dari Asia yang mendapat spotlight.
Dan kehadiran POP MART dalam acara se-ikonik Macy’s Parade adalah pernyataan keras: “Budaya Asia bukan tren sementara — ini bagian dari pop culture global.”
Lebih dari itu, parade ini juga menunjukkan bahwa mainan tidak lagi dilihat sebagai produk anak-anak, tapi sebagai medium ekspresi seni, gaya hidup, dan bahkan investasi.
Strategi Branding yang Brilian
Bagi POP MART, langkah ini lebih dari sekadar promosi. Ini adalah strategi positioning yang cerdas.
Macy’s Parade ditonton lebih dari 20 juta orang secara langsung, dan lebih dari 50 juta melalui siaran TV dan streaming.
Muncul di acara sebesar ini berarti POP MART sedang menancapkan bendera di pasar Amerika—pasar yang selama ini dikuasai Funko Pop, Lego, dan Disney.
Perusahaan ini sudah membuka toko di Los Angeles, London, dan Tokyo, serta menjalin kolaborasi dengan seniman global seperti Kenny, Pucky, dan Instinctoy.
Tapi kehadiran di parade ini mengubah segalanya: dari merek niche bagi kolektor Asia, menjadi brand lifestyle internasional.
Dan yang paling menarik: mereka tidak meniru gaya barat, tapi membawa identitas Asia ke jantung New York.
Gaya visual mereka—kombinasi imut, surrealis, dan sedikit menyeramkan—berbeda total dari karakter lucu khas Disney. Inilah “weirdness” yang disukai generasi muda digital.
Simbol Kekuatan Soft Power Asia
Secara budaya, ini juga kemenangan soft power.
Asia kini tidak hanya mengimpor film dan musik barat, tapi mengekspor karakter, estetika, dan cerita ke seluruh dunia.
POP MART membuktikan bahwa desain, emosi, dan estetika Asia bisa bersaing tanpa harus “menjadi barat.”
Bahkan lebih jauh: mereka menciptakan bahasa visual baru.
Setiap karakter POP MART punya narasi kecil—melankolis, surealis, tapi relatable.
Labubu misalnya, makhluk kecil dengan wajah usil dan gigi besar, dianggap simbol semangat “nakal tapi baik.” SKULLPANDA melambangkan dualitas kecantikan dan kematian, sedangkan Dimoo adalah perwujudan keingintahuan manusia.
Narasi-narasi ini mencerminkan tren global: publik ingin karakter dengan kedalaman emosional, bukan sekadar lucu. POP MART menangkap itu lebih cepat daripada banyak studio besar.
Resonansi untuk Asia Tenggara
Bagi kawasan seperti Indonesia, Malaysia, atau Thailand, fenomena ini punya dampak menarik.
Pertama, art-toy dan figur koleksi kini bukan lagi barang “aneh.” Generasi muda di Jakarta dan Bangkok sudah mulai mengoleksi, memamerkan, bahkan memproduksi versi lokal.
Kedua, peluang ekonomi kreatif terbuka lebar: seniman ilustrasi, sculptor, hingga brand lokal bisa ikut memanfaatkan tren ini untuk menciptakan IP sendiri.
Contoh: beberapa desainer lokal sudah mulai meniru model bisnis POP MART dengan blind-box edisi terbatas bertema lokal—dari karakter mitologi sampai figur kopi dan jajanan pasar.
Kalau POP MART bisa menembus Amerika, bukan tidak mungkin karakter lokal seperti Si Juki, Gundala, atau Nusantara Heroes suatu hari ikut mengudara di Times Square.
Budaya Pop yang Semakin Tak Terduga
Momen POP MART di parade Thanksgiving adalah pengingat bahwa budaya pop selalu berevolusi ke arah yang tak terduga.
Apa yang dulu dianggap “niche” bisa jadi global.
Yang dulu dianggap “aneh” bisa jadi mainstream.
Dan di balik parade penuh warna itu, ada pesan sederhana: imajinasi adalah produk ekspor terbaik manusia.
Dunia mungkin sedang sibuk dengan AI, krisis, dan algoritma, tapi di tengah semua itu, masih ada sekelompok orang yang percaya bahwa boneka kecil bisa membawa kegembiraan lintas budaya.
Agak absurd, memang. Tapi justru di situlah keindahannya.
Kesimpulan
Ketika POP MART meluncurkan float-nya di langit New York, itu bukan sekadar promosi mainan.
Itu simbol tentang bagaimana dunia pop culture kini tanpa batas—tentang persahabatan, imajinasi, dan keberanian menampilkan identitas Asia ke panggung global.
Labubu, Molly, Dimoo, SKULLPANDA, dan kawan-kawan bukan lagi sekadar karakter lucu dari toko di Beijing; mereka sekarang bagian dari narasi besar: bahwa fantasi bisa menyatukan dunia.
Dan di era ketika realitas semakin suram, sedikit fantasi mungkin adalah hal paling nyata yang kita miliki.
